Senin, 11 Januari 2010

Bio Solar - Biodiesel - PERTAMINA Siap !

.
 Bio Solar
Biodiesel?
 

Pertamina Siap!

Pertamina siap memproduksi dan menjual biodiesel dari bahan dasar minyak kelapa sawit atau CPO (crude palm oil). Biodiesel adalah salah satu jenis bahan bakar hayati non fosil (biofuel) yang sedang digalakkan Pemerintah pemakaiannya melalui Perpres No. 5 Tahun 2006 dan Inpres No. 1 Tahun 2006. Bahan bakar ini secara bertahap akan mengurangi peran solar. Dengan kualifikasi biodiesel B-5 yang diluncurkan 20 Mei 2006 ini, biodiesel bermerek Bio-Solartersebut mengandung lima persen CPO yang telah dibentuk menjadi Fatty Acid Methyl Ester (FAME) dan 95 persen solar murni bersubsidi. Dengan formula seperti itu, untuk tahun 2006 ada penghematan impor solar sebanyak 720.000 kiloliter.

Ini adalah proyek untuk solusi bangsa di bidang energi. Tak berlebihan, karena dengan langkah Pertamina ini berarti Indonesia pada 20 Mei 2006 ini telah memulai sesuatu yang bersejarah, yaitu mengembangkan energi alternatif yang memiliki multiplier effect secara ekonomi dan ketahanan bangsa di sektor energi.

Memilih tanggal 20 Mei 2006 sebagai tanggal peluncuran produk perdana ini, pasti tak dilepaskan dari semangat historis kebangkitan bangsa pada 20 Mei 1908 oleh organisasi Budi Utomo.

Boleh jadi meluncurkan produk Bio Solar merupakan langkah kita menuju alam yang bebas krisis, atau kalau perlu menuju alam yang membawa kembali kejayaan bangsa. Nilai dan semangat di balik peluncuran ini yang tidak boleh diabaikan dan dipandang sebelah mata. Parameternya adalah langkah nyata dan bersemangat problem solving.

 
PROBLEM ENERGI NASIONAL

Tak hanya Indonesia yang dipaksa berpikir untuk mengabil langkah strategis, berjangka panjang, berkesinambungan, di seputar masalah kebijakan energi. China yang mengonsumsi minyak 6,5 juta bph pada tahun 2004 dan diperkirakan memakai 10,5 juta bph pada tahun 2020, sedang melalukan "revolusi" energi. Juga AS, negeri-negeri Eropa, dan sejumlah negara Asia seperti Jepang, Thailand, dan India.

Kalau tidak direm, konsumsi minyak oleh bangsa Indonesia bisa melonjak tajam. Ada pakar yang mencatat prediksi kebutuhan BBM dalam negeri pada tahun 2010 sekitar 1,6 juta bph. Kebutuhan ini ekivalen dengan minyak mentah 2 juta bph.

Apa yang dicatat oleh sang pakar memang belum terjadi, tetapi kalau trend konsumsi BBM oleh bangsa ini tidak direm, kemungkinan krisis energi minyak tidak mustahil terjadi. Karena kebutuhan energi adalah bersifat kebutuhan primer dan selalu beriringan dengan pertumbuhan ekonomi. Dengan perkiraan tingkat pertumbuhan ekonomi Nasional yang terus dipacu dan terus membaik, maka tingkat konsumsi energi akan ikut terdongkrak.

Energi memang tak hanya minyak bumi. Namun kalau melihat pola konsumsi minyak bumi yang masih dominan, maka gerakan klimaks konsumsi BBM dalam negeri tidak gampang distop.

Dengan teori berpikir seperti ini kita bisa menerima angka prediksi kalau impor minyak mentah Indonesia akan melonjak di atas 400 ribu bph. Padahal saat ini "hanya" sekitar 0,400 juta bph.

Menutupi demand minyak bumi yang terus melonjak dengan opsi menaikkan tingkat produksi crude Nasional untuk dalam kondisi sekarang tidaklah gampang, untuk tidak mengatakan tidak mungkin. Faktanya booming minyak bumi di negeri kita seperti tahun medio 1970-an dan awal 1980-an agaknya belum terbayangkan terjadi lagi.

Tingkat produksi Nasional terus melorot sejak 2000. Bahkan sempat menyentuh sedikit di bawah satu juta bph, walaupun kemudian berusaha didongkrak menggenapkan lagi ke angka satu juta bph, dan ditargetkan 1,3 juta bph pada tahun 2006 ini.

Penemuan cadangan baru memang sempat memberikan harapan, bahwa posisi net oil importer akan bisa diperbaiki, dan kembali mengekspor. Tapi dengan berpikir realistis bahwa karakteristik energi fosil pada akhirnya harus habis, bangsa Indonesia tetap saja harus mempersiapkan diri mengantisipasi kondisi memilukan, minyak bumi habis dari perut bumi kita.

Menemukan kembali giant field minyak mentah kita? Kepala kita akan menggeleng sebagai jawaban. Kenyataannya sejak ditambang secara komersial pada tahun 1885 oleh bangsa asing dan dimanfaatkan mereka hingga 1945, sumber minyak bumi di perut Nusantara sudah "lelah" ?

Ironisnya kita masih berboros-boros ria dengan BBM yang murah (gara-gara harga subsidi). Sebagian dari komponen bangsa ini seperti tidak menyadari potensi masalah besar di sektor energi sedang dihadapi. Sehingga opsi menurunkan subsidi BBM secara bertahap gencar dipolitisasi. Ditentang, dikritik, dan dihujat. Padahal menurunkan subsidi secara bertahap sudah diputuskan Pemerintah dan DPR melalui UU No. 5 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas).

Bangsa AS saja sudah dikukuhkan oleh UU energi mereka, US Energy Act 2005, untuk mengurangi pemakaian bensin sebesar 1,0 juta bph pada tahun 2015 (Kompas, 20/8/05). Bahkan diberitakan, atas perintah Presiden Bush, program-progam khusus di Departemen Energi AS dikonsentrasikan untuk mengganti lebih dari 75 persen impor minyak AS dari Timur Tengah pada tahun 2025 (Kompas, 5/5/06).

Ada langkah-langkah cerdas yang dilakukan oleh bangsa-bangsa lain. Mereka seperti mengerti kapan bersatu padu mengatasi masalah besar bangsa, kapan mereka berseberangan secara politik dengan pemerintah. Perahu bocor diatasi bersama. Konflik kepentingan di atas perahu bocor hanya akan menenggelamkan seluruh penumpang perahu.

Sementara China membangun energy security melalui investasi besar-besaran di proyek eksplorasi dan pengembangan di berbagai negara lain. Negeri tirai bambo ini membentuk "balatentara" untuk melaksanakan misi ini, yaitu membentuk tiga BUMN minyak skala besar pada tahun 1980-an.

Ada The China National Offshore Oil Corporation (CNOOC), The China National Petrchemical Corporation (Sinopec), dan The China National Petroleum Corporation (CNPC). Ketiga BUMN ini menjadi lokomotif Chinauntuk memenuhi security of supply energi minyaknya.

Brazil adalah contoh lain betapa negeri itu berhasil mengembangkan bioethanol dengan memanfaatkan sari tebu. Dan ketika sejumlah negara menjerit dan berteriak karena masalah energi, negeri Samba ini tersenyum dengan energi alternatifnya.

Indonesia sebenarnya boleh dikatakan melakukan langkah cerdas. Strategi menghidupkan bahan bakar dari unsur hayati non fosil berarti memanfaatkan kelebihan alamnya yang kaya dengan unsur-unsur hayati. Tidak mustahil, dari pengembangan biodiesel berbahan dasar CPO saja membuka kemungkinan negara ini menjadi produsen CPO terbesar di dunia, menyalip Malaysia yang kali ini sebagai produsen CPO terbesar di dunia.

BUMN-BUMN bidang perkebunan, yaitu PTPN diperkirakan akan hidup subur karena CPO-nya selain diekspor bisa dijadikan bahan dasar biodiesel. Tak mustahil, Indonesiamelalui Pertamina kelak akan mengekspor biodiesel ke negeri-negeri yang membutuhkan energi besar seperti China, AS, dan India.

Ini adalah mimpi dan optimisme kita. Tak ubahnya mimpi para pendiri bangsa ketika beberapa puluh tahun sebelum proklamasi sudah tersenyum dengan imajinasi mereka memiliki negeri yang merdeka bebas dari penjajahan. Bukankah mereka berhasil mewujudkan mimpinya?

Oleh karena itu, maaf, untuk program besar seperti Kebijakan Energi Nasional yang ditetapkan awal 2006 tak seharusnya "dikoyak-koyak" lagi oleh publik, seperti nasib kebijakan mengurangi subsidi BBM (melalui penentangan public atas kenaikan harga BBM). Perahu kita di sektor energi sudah berlobang. Mari kita tutupi lobang itu bersama-sama tanpa melihat perbedaan aliran politik dan faham.

Kebebasan berpendapat yang "liar" sebagai konsekuensi alam demokrasi sudah saatnya untuk kita letakkan secara arif agar urusan urgen dan strategis, yang menyangkut program keselamatan bangsa pada masa depan, tidak berantakan oleh kekuatan kita sendiri. Demokrasi yang tetap memperhatikan kepentingan lebih besar yang bersifat strategic problem solving bangsa.

 
ARTI PENTING BIODIESEL

Opsi mengalihkan konsumsi energi dari jenis energi fosil yang tidak bisa diperbarui (unrenewable energy) ke jenis energi hayati non fosil yang bisa diperbarui (renewable energy) bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Karena asumsi yang ada sudah tak terbantahkan, yaitu energi fosil akan habis pada saatnya.

Cukup aman, karena jenis energi terbarukan ini memiliki sumber daya energi yang secara alamiah tidak akan habis dan dapat berkelanjutan jika dikelola dengan baik. Sebutlah misalnya, panasbumi, biofuel, aliran sungai, panas surya, angina, ombak laut, dan suhu kedalaman laut.

Dari sederet jenis energi yang terbarukan itu Pertamina bergerak di dalam salah satunya, yaitu panasbumi. Nah, sekarang Pertamina bergerak lagi ke energi yang terbarukan jenis yang lain, yaitu biofuel. Salah satu biofuel yang digarap Pertamina adalah biodiesel, yaitu bahan bakar diesel yang terbuat dari unsur hayati-nabati non fosil.

Seperti diketahui, biofuel itu ada yang dibuat dari minyak nabati seperti minyak kelapa sawit atau CPO (Crude Palam Oil) dan minyak pohon jarak pagar atau CJCO (Crude Jatropha Curcas Oil), dibuat dengan proses transesterifikasi. Proses ini pada dasarnya merupakan proses yang mereaksikan minyak nabati (CPO atau CJCO) dengan methanol dan ethanol dengan katalisator soda api (NaOH atau KOH).

Dari hasil proses transesterifikasi CPO itu akan dihasilkan metil ester asam lemak murni (FAME). Lalu FAME tersebut di-blending dengan solar murni selama 10 menitan, menghasilkan biodiesel yang siap pakai. Itulah biofuel jenis biodiesel! Biodiesel penggunaannya adalah untuk menggantikan solar.

Kalau untuk kebutuhan minyak goreng, CPO tidak mengalami transesterifikasi, melainkan mengikuti proses pemurnian, sehingga warna keruh CPO itu menjadi "terang-benderang." Itulah minyak goreng!

Biodiesel memiliki keunggulan komparatif dibandingkan dengan bentuk energi lain. Lebih mudah ditransportasikan; memiliki kerapatan energi per volume yang lebih tinggi; memiliki karakter pembakaran yang relatif bersih; dan ramah lingkungan.

Kelemahannya tak cocok dipakai untuk kendaraan bermotor yang memerlukan kecepatan dan daya, karena biodiesel menghasilkan tenaga yang lebih rendah dibandingkan solar murni.

Jenis biofuel lain adalah bioethanol. Dibuat dari tanaman yang mengandung gula dan pati seperti tebu, singkong, sagu, dan sorgum. Bahan-bahan ini yang diubah menjadi ethanol. Bioethanol itu yang berhasil dikembangkan Brazildengan memanfaatkan tetes tebu. Bioethanol digunakan untuk menggantikan bensin.

Bioethanol bisa digunakan dalam bentuk neat 100 persen (E-100). Atau di-blending dengan bensin (E-XX).

Sedangkan biofuel yang sudah banyak dipraktekkan oleh sementara lapisan masyarakat di daerah peternakan adalah biogas. Bahannya adalah limbah cair, limbah kotoran ternak, dan bahkan kotoran manusia. Bentuknya adalah gas. Bisa menggantikan minyak tanah.

Sebenarnya biogas ini ada yang memasukkan ke dalam keluarga biomassa yang menurut Ensiklopedi Nasional Indonesia adalah massa tumbuhan dan kotoran hewan yang dapat memberikan energi, baik dengan dibakar langsunbg, maupun setelah diubah menjadi bahan lain yang pembakarannya lebih mudah.

Jadi, biogas diperoleh dari bahan biomassa hasil peragian oleh mikroorganisme tanpa adanya oksigen. Contoh bahan biomassa yang sering dipakai adalah kayu atau limbah kayu, produk atau limbah pertanian, ganggang, eceng gondok, kotoran ternak, dan lain-lain.

Burhani Rahman (Kompas, 8/6/05) menulis, bahwa bahan bakar ini dibuat dari limbah kotoran ternak, bahkan tinja manusia. Bahan-bahan itu dicampur dengan potongan jerami, sekam, dan daun-daunan sortiran sayur, dan lain sebagainya.

Biogas cocok dikembangkan di daerah-daerah yang memiliki biomassa melimpah, terutama di sentra-sentra produksi padi dan ternak di Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Bali, dan lain-lain.

Kembali ke soal biodiesel. Arti penting pemanfaatan biodiesel antara lain menyangkut kebutuhan solar untuk transportasi yang terus meningkat. Tahun 2006 ini saja sudah mencapai 12,438 juta kiloliter. Sehingga dengan pengembangan biodiesel, maka impor solar akan sedikit demi sedikit bisa dikurangi. Ada penghematan devisa negara.

Ketika laju konsumsi BBM sulit direm, maka mensubstitusi BBM dengan biofuel akan memperingan beban impor BBM. Di tengah melonjaknya harga crude sampai 74 dolar AS per barel (per akhir April 2006), penghematan impor BBM akan sangat berarti bagi kondisi cash flow Pemerintah. Karena ketika volume impor BBM dan crude meningkat, maka beban keuangan Negara pun semakin dibuat cekak.

 
MENGURANGI KONSUMSI BBM

Pengembangan biodiesel oleh Pertamina menempati posisi strategis dalam memperkuat implementasi kebijakan Pemerintah untuk mengurangi konsumsi bahan bakar minyak fosil. Perpres No. 5 Tahun 2006 menargetkan peningkatan pemanfaatan gas bumi lebih dari 30 persen. Saat ini masih kecil, sekitar 26,5 persen terpakai.

Demikian batubara, harus melonjak tingkat konsumsinya ketimbang gas bumi sekalipun. Perpres menetapkan konsumsi batubara harus menjadi lebih dari 33 persen. Sekarang batubara baru dipakai orang Indonesia hanya 14,1 persen saja.

Intinya energi alternatif masih begitu rendah tingkat konsumsinya, dan arah kebijakan Pemerintah adalah meningkatkan volume pemakaian non BBM tersebut.

Panasbumi yang begitu melimpah ditargetkan harus melebihi lima persen. Sedangkan energi terbarukan lainnya (biomasssa, nuklir, tenaga air skala kecil, tenaga surya, dan tenaga angin) diharapkan menjadi lebih dari lima persen.

Dan terakhir, bahan bakar lain yang berasal dari pencairan batubara ditargetkan harus menjadi lebih dari dua persen.

Ada empat kebijakan utama Pemerintah untuk mencapai keamanan pasokan energi dalam negeri serta berbagai sasarannya. Dari mulai penyediaan energi; pemanfaatan energi; penetapan harga energi ke arah harga keekonomian; maupun pelestarian lingkungan dengan menerapkan prinsip pembangunan berkelanjutan.

Salah satu contoh dari kebijakan pemanfaatan energi adalah melalui diversifikasi energi, yaitu penganekaragaman penyediaan dan pemanfaatan berbagia sumber energi dalam rangka optimalisasi penyediaan energi.

Dalam kerangka diversifikasi energi lah pengembangan biodiesel dilakukan oleh Pertamina. Tinggal bagaimana bentuk insentif dari Pemerintah agar para pelaku pengembangan penyediaan dan pemanfaatan biofuel tidak merugi dan tetap bergairah. Pemerintah dapat memberikan kemudahan dan insentif kepada pelaksana konservasi energi dan pengembang sumber energi alternative (Pasal 6 Perpres No. 5 Tahun 2006).

w(Tim WePe)
 
  CONTACT PERTAMINA

  Fix Phone

  : 500 000 (from all cities in Indonesia)
  Phone

  : +62 21 7917 3000
  Fax

  : +62 21 7972 177
  SMS

  : +62 21 7111 3000
  E-Mail

  : pcc@pertamina.com

  © 1996 - 2009 PT Pertamina (Persero) Corporate Website




Sumber bacaan :
http://www.pertamina.com/index.php?option=com_content&task=view&id=79&Itemid=1078





Ads by Acentran

HiLF eCyber
© 1975-2010 Akunda
.

Bioethanol, Alternatif Energi

.

http://www.energi.lipi.go.id/utama.cgi?cetakartikel&1121436790



Bioethanol, Alternatif Energi Terbarukan:
Kajian Prestasi Mesin dan Implementasi di Lapangan

Yuli Indartono (Kobe University)


Kontinuitas penggunaan bahan bakar fosil (fossil fuel) memunculkan - paling sedikit Edua ancaman serius: (1) faktor ekonomi, berupa jaminan ketersediaan bahan bakar fosil untuk beberapa dekade mendatang, masalah suplai, harga, dan fluktuasinya (2) polusi akibat emisi pembakaran bahan bakar fosil ke lingkungan. Polusi yang ditimbulkan oleh pembakaran bahan bakar fosil memiliki dampak langsung maupun tidak langsung kepada derajad kesehatan manusia. Polusi langsung bisa berupa gas-gas berbahaya, seperti CO, NOx, dan UHC (unburn hydrocarbon), juga unsur metalik seperti timbal (Pb). Sedangkan polusi tidak langsung mayoritas berupa ledakan jumlah molekul CO2 yang berdampak pada pemanasan global (Global Warming Potential). Kesadaran terhadap ancaman serius tersebut telah mengintensifkan berbagai riset yang bertujuan menghasilkan sumber-sumber energi (energy resources) ataupun pembawa energi (energy carrier) yang lebih terjamin keberlanjutannya (sustainable) dan lebih ramah lingkungan.

Alkohol untuk bahan bakar

Penggunaan alkohol sebagai bahan bakar mulai diteliti dan diimplementasikan di USA dan Brazil sejak terjadinya krisis bahan bakar fosil di kedua negara tersebut pada tahun 1970-an. Brazil tercatat sebagai salah satu negara yang memiliki keseriusan tinggi dalam implementasi bahan bakar alkohol untuk keperluan kendaraan bermotor dengan tingkat penggunaan bahan bakar ethanol saat ini mencapai 40 ecara nasional (Nature, 1 July 2005). Di USA, bahan bakar relatif murah, E85, yang mengandung ethanol 85 emakin populer di masyarakat (Nature, 1 July 2005).

Selain ethanol, methanol juga tercatat digunakan sebagai bahan bakar alkohol di Rusia (Wikipedia), sedangkan Kementrian Lingkungan Hidup Jepang telah mentargetkan pada tahun 2008 campuran gasolin + ethanol 10 kan digunakan untuk menggantikan gasolin di seluruh Jepang. Kementrian yang sama juga meminta produsen otomotif di Jepang untuk membuat kendaraan yang mampu beroperasi dengan bahan bakar campuran tersebut mulai tahun 2003 (The Japan Times, 17 December 2002).

Pemerintah Indonesia, dalam hal ini Kementrian Negara Riset dan Teknologi telah mentargetkan pembuatan minimal satu pabrik biodiesel dan gasohol (campuran gasolin dan alkohol) pada tahun 2005-2006. Selain itu, ditargetkan juga bahwa penggunaan bioenergy tersebut akan mencapai 30 ari pasokan energi nasional pada tahun 2025 (Kompas, 26 Mei 2005).

Ethanol bisa digunakan dalam bentuk murni ataupun sebagai campuran untuk bahan bakar gasolin (bensin) maupun hidrogen. Interaksi ethanol dengan hidrogen bisa dimanfaatkan sebagai sumber energi fuel cell ataupun dalam mesin pembakaran dalam (internal combustion engine) konvensional. Pada tulisan ini, dibahas secara singkat: (1) dampak penggunaan ethanol pada mesin pembakaran dalam dengan penyalaan busi (spark ignition), dan (2) implementasi bahan bakar ethanol di Brazil -negara yang telah serius menggunakan bahan bakar ethanol.

Penggunaan ethanol pada mesin pembakaran dalam

Dewasa ini, hampir seluruh mesin pembangkit daya yang digunakan pada kendaraan bermotor menggunakan mesin pembakaran dalam. Mesin bensin (Otto) dan diesel adalah dua jenis mesin pembakaran dalam yang paling banyak digunakan di dunia. Mesin diesel, yang memiliki efisiensi lebih tinggi, tumbuh pesat di Eropa, sedangkan komunitas USA yang cenderung khawatir pada tingkat polusi sulfur dan UHC pada diesel, lebih memilih mesin bensin. Meski saat ini, mutu solar dan mesin diesel yang digunakan di Eropa sudah semakin baik yang berimplikasi pada rendahnya emisi sulfur dan UHC. Ethanol yang secara teoritik memiliki angka oktan di atas standard maksimal bensin, cocok diterapkan sebagai substitusi sebagian ataupun keseluruhan pada mesin bensin.

Terdapat beberapa karakteristik internal ethanol yang menyebabkan penggunaan ethanol pada mesin Otto lebih baik daripada gasolin. Ethanol memiliki angka research octane 108.6 dan motor octane 89.7 ( Yuksel dkk, 2004). Angka tersebut (terutama research octane) melampaui nilai maksimal yang mungkin dicapai oleh gasolin (pun setelah ditambahkan aditif tertentu pada gasolin). Sebagai catatan, bensin yang dijual Pertamina memiliki angka research octane 88 (Website Pertamina) (catatan: tidak tersedia informasi motor octane untuk gasolin di Website Pertamina, namun umumnya motor octane lebih rendah daripada research octane).

Angka oktan pada bahan bakar mesin Otto menunjukkan kemampuannya menghindari terbakarnya campuran udara-bahan bakar sebelum waktunya (self-ignition). Terbakarnya campuran udara-bahan bakar di dalam mesin Otto sebelum waktunya akan menimbulkan fenomena ketuk (knocking) yang berpotensi menurunkan daya mesin, bahkan bisa menimbulkan kerusakan serius pada komponen mesin. Selama ini, fenomena ketuk membatasi penggunaan rasio kompresi (perbandingan antara volume silinder terhadap volume sisa) yang tinggi pada mesin bensin. Tingginya angka oktan pada ethanol memungkinkan penggunaan rasio kompresi yang tinggi pada mesin Otto. Korelasi antara efisiensi dengan rasio kompresi berimplikasi pada fakta bahwa mesin Otto berbahan bakar ethanol (sebagian atau seluruhnya) memiliki efisiensi yang lebih tinggi dibandingkan dengan bahan bakar gasoline ( Yuksel dkk, 2004), (Al-Baghdadi, 2003). Untuk rasio campuran ethanol:gasoline mencapai 60:40 tercatat peningkatan efisiensi hingga 10  Yuksel dkk, 2004).

Ethanol memiliki satu molekul OH dalam susunan molekulnya. Oksigen yang inheren di dalam molekul ethanol tersebut membantu penyempurnaan pembakaran antara campuran udara-bahan bakar di dalam silinder. Ditambah dengan rentang keterbakaran (flammability) yang lebar, yakni 4.3 - 19 vol dibandingkan dengan gasoline yang memiliki rentang keterbakaran 1.4 - 7.6 vol  pembakaran campuran udara-bahan bakar ethanol menjadi lebih baik -ini dipercaya sebagai faktor penyebab relatif rendahnya emisi CO dibandingkan dengan pembakaran udara-gasolin, yakni sekitar 4  dkk, 2004). Ethanol juga memiliki panas penguapan (heat of vaporization) yang tinggi, yakni 842 kJ/kg (Al-Baghdadi, 2003). Tingginya panas penguapan ini menyebabkan energi yang dipergunakan untuk menguapkan ethanol lebih besar dibandingkan gasolin. Konsekuensi lanjut dari hal tersebut adalah temperatur puncak di dalam silinder akan lebih rendah pada pembakaran ethanol dibandingkan dengan gasolin.

Rendahnya emisi NO, yang dalam kondisi atmosfer akan membentuk NO2 yang bersifat racun, dipercaya sebagai akibat relatif rendahnya temperatur puncak pembakaran ethanol di dalam silinder. Pada rasio kompresi 7, penurunan emisi NOx tersebut bisa mencapai 33 ibandingkan terhadap emisi NOx yang dihasilkan pembakaran gasolin pada rasio kompresi yang sama (Al-Baghdadi, 2003). Dari susunan molekulnya, ethanol memiliki rantai karbon yang lebih pendek dibandingkan gasolin (rumus molekul ethanol adalah C2H5OH, sedangkan gasolin memiliki rantai C6-C12 (Wikipedia) dengan perbandingan antara atom H dan C adalah 2:1 (Rostrup-Nielsen, 2005)). Pendeknya rantai atom karbon pada ethanol menyebabkan emisi UHC pada pembakaran ethanol relatif lebih rendah dibandingkan dengan gasolin, yakni berselisih hingga 130 ppm (Yuksel dkk, 2004).

Dari paparan di atas, terlihat bahwa penggunaan ethanol (sebagian atau seluruhnya) pada mesin Otto, positif menyebabkan kenaikan efisiensi mesin dan turunnya emisi CO, NOx, dan UHC dibandingkan dengan penggunaan gasolin. Namun perlu dicatat bahwa emisi aldehyde lebih tinggi pada penggunaan ethanol Emeski bahaya emisi aldehyde terhadap lingkungan adalah lebih rendah daripada berbagai emisi gasolin ( dkk, 2004). Selain itu, pada prinsipnya emisi CO2 yang dihasilkan pada pembakaran ethanol juga akan dipergunakan oleh tumbuhan penghasil ethanol tersebut. Sehingga berbeda dengan bahan bakar fosil, pembakaran ethanol tidak menciptakan sejumlah CO2 baru ke lingkungan. Terlebih untuk kasus di Indonesia, dimana bensin yang dijual Pertamina masih mengandung timbal (TEL) sebesar 0.3 g/L serta sulfur 0.2 wt Website Pertamina), penggunaan ethanol jelas lebih baik dari bensin. Seperti diketahui, TEL adalah salah satu zat aditif yang digunakan untuk meningkatkan angka oktan bensin -dan zat ini telah dilarang di berbagai negara di dunia karena sifat racunnya. Keberadaan sulfur juga menjadi perhatian di USA dan Eropa karena dampak yang ditimbulkannya bagi kesehatan.

Ethanol murni akan bereaksi dengan karet dan plastik (Wikipedia). Oleh karena itu, ethanol murni hanya bisa digunakan pada mesin yang telah dimodifikasi. Dianjurkan untuk menggunakan karet fluorokarbon sebagai pengganti komponen karet pada mesin Otto konvensional. Selain itu, molekul ethanol yang bersifat polar akan sulit bercampur secara sempurna dengan gasolin yang relatif non-polar, terutama dalam kondisi cair. Oleh karena itu modifikasi perlu dilakukan pada mesin yang menggunakan campuran bahan bakar ethanol-gasolin agar kedua jenis bahan bakar tersebut bisa tercampur secara merata di dalam ruang bakar. Salah satu inovasi pada permasalahan ini adalah pembuatan karburator tambahan khusus untuk ethanol (Yuksel dkk, 2004). Pada saat langkah hisap, uap ethanol dan gasolin akan tercampur selama perjalanan dari karburator hingga ruang bakar Ememberikan tingkat pencampuran yang lebih baik.

Studi kasus penggunaan bahan bakar ethanol di Brazil

Brazil mencanangkan program bahan bakar ethanol dalam skala besar sejak terjadinya krisis minyak pada era 1970-an (Riberio dkk, 1997). Ethanol diekstrak dari tebu (sugarcane). Bagian tanaman yang tidak digunakan dalam produksi gula / ethanol, yakni bagasse, digunakan pula sebagai bahan bakar untuk distilasi ethanol dan untuk menghasilkan listrik Ebaik untuk memenuhi kebutuhan listrik pabrik ethanol serta dijual ke masyarakat. Pembakaran bagasse relatif ramah lingkungan dibandingkan bahan bakar minyak dan batu bara. Kandungan abu bagasse hanya 2.5 dibandingkan batu bara: antara 30-50  dan bagasse juga tidak mengandung sulfur (Wikipedia). Dengan menggunakan bagasse, pabrik ethanol tidak memerlukan asupan energi dari luar, justru dia bisa menjual sisa listrik yang dihasilkannya ke masyarakat. Terlebih karena hal tersebut terjadi di musim panas, manakala pembangkit listrik tenaga air tidak bisa maksimal dalam memenuhi kebutuhan listrik masyarakat (Wikipedia).

Posisi program bahan bakar ethanol dan produk sampingnya di Brazil pada periode 2003/2004 (kecual disebutkan lain) adalah:
Areal pertanian : 45,000 m2 pada tahun 2000
Pekerja : 1 juta pekerjaan -(50 ertani, 50 emrosesan)
Sugarcane : 344 juta ton (50-50 untuk gula dan alkohol)
Gula : 23 juta ton (30 ieksport)
Ethanol : 14 juta m3 (7.5 anhydrous, 6.5 hydrated; 2.4 ieksport)
Bagasse kering : 50 juta ton
Listrik dihasilkan : 1350 MW (1200 MW dipergunakan pabrik ethanol, 150 MW dijual ke masyarakat) pada tahun 2000
Sumber: Wikipedia

*Sebagai perbandingan, PLTU Suralaya yang merupakan pemasok sekitar 25 kebutuhan listrik Jawa-Bali memiliki kapasitas 3,400 MW (Sumber: Miningindo).

Penggunaan bahan bakar ethanol (murni ataupun campuran dengan gasolin) diperhitungkan telah menekan emisi CO2 di Brazil dari tahun 1995-2010 sebesar 293 ton (hipotesis rendah) hingga 461 ton (hipotesis tinggi). Ini berarti emisi CO2 tahunan yang bisa dikurangi di Brazil adalah sekitar 12 ila menggunakan hipotesis tinggi (Riberio dkk, 1997).

Implementasi bahan bakar ethanol di Brazil tidak selamanya berjalan mulus. Dukungan politik dan insentif pemerintah diperlukan guna keberlanjutan program tersebut. Di awal implementasi program penggunaan bahan bakar ethanol, yakni di era 1980-an, lebih dari 90 obil yang terjual di Brazil adalah mobil yang berbahan bakar khusus ethanol (Riberio dkk, 1997). Namun tidak lancarnya pasokan ethanol di awal 1990-an menyebabkan penjualan mobil yang sama hanya mencapai kurang dari 1 i tahun 1997 (Riberio dkk, 1997). Pada tahun 1997, hanya separuh dari seluruh jumlah mobil di Brazil yang menggunakan bahan bakar khusus ethanol, sedangkan sisanya menggunakan campuran gasolin + ethanol (hingga 22 (Riberio dkk, 1997). Sedangkan saat ini, seperti dikemukakan di awal, 40 asokan energi di Brazil berasal dari bioethanol (Nature, 1 July 2005).

Pengaruh terhadap lingkungan

Beberapa ilmuwan Amerika penentang implementasi bioethanol mengangkat permasalahan lingkungan yang dimunculkan oleh mata rantai produksi bioethanol. Ilmuwan tersebut menyoroti praktek pembakaran ladang guna memudahkan panen tebu, kerusakan tanah akibat ancaman terhadap keanekaragaman hayati, penggunaan air dalam jumlah besar untuk membersihkan sugarcane, serta erosi tanah yang disebabkan praktek penanaman tebu (Nature, 1 July 2005). Selain itu, beberapa kalangan juga mempertanyakan rasio antara energi yang dihasilkan terhadap energi yang diperlukan dalam produksi ethanol yang hanya mencapai 1.1 (Rostrup-Nielsen, 2005).

Untuk meminimalkan dampak negatif mata rantai produksi ethanol, pemerintah Brazil telah mengeluarkan aturan yang melarang pembakaran ladang sebelum panen tebu; dan sebagai gantinya digunakan mesin pemanen untuk memudahkan dan mempercepat panen (Wikipedia). Menilai implementasi ethanol secara kuantitatif, seperti yang dipraktekkan di Brazil, seharusnya juga perlu diperhitungkan faktor produk samping berupa bagasse yang menghasilkan listrik (dalam jumlah signifikan) serta efek pengurangan emisi CO2 yang berkorelasi positif terhadap tingkat kesehatan masyarakat. Dalam kasus penggunaan bahan bakar hidrogen, Jacobson dkk (2005) memperkirakan bahwa sekitar 3,700 - 6,400 orang per tahun akan terselamatkan bila seluruh kendaraan bermotor di USA bermigrasi menggunakan bahan bakar hidrogen yang dibangkitkan dari energi angin. Oleh karena itu, bila factor-faktor tersebut turut diperhitungkan, nampaknya penggunaan bioethanol akan lebih superior terhadap gasolin. Sedangkan ancaman terhadap keanekaragaman hayati mungkin bisa dipecahkan dengan menggunakan beberapa tanaman sebagai sumber ethanol. Meski relatif lebih menyulitkan dalam pengaturannya, praktek multikultur tersebut diharapkan akan menekan penurunan kualitas tanah secara radikal.

Kesimpulan

Dua ancaman serius yang muncul akibat ketergantungan terhadap bahan bakar fosil, yakni: faktor ekonomi (keterbatasan eksplorasi yang berakibat pada suplai, harga; dan fluktuasinya), serta faktor polusi bahan bakar fosil yang merugikan lingkungan hidup, mau tidak mau memaksa umat manusia untuk memikirkan alternatif energi yang lebih terjamin pengadaannya serta ramah terhadap lingkungan. Gasohol adalah salah satu alternatif yang memungkinkan transisi ke arah implementasi energi alternatif berjalan dengan mulus.

Dari sisi teknik pembangkitan daya dan emisi gas buang, ethanol (dalam bentuk murni ataupun campuran) relatif superior terhadap gasolin. Penggunaan ethanol sebagai bahan bakar pada mesin pembakaran dalam akan meningkatkan efisiensi mesin, serta menurunkan kadar emisi gas yang berbahaya bagi lingkungan (relatif terhadap gasolin). Produk samping berupa listrik, serta dampak penurunan emisi CO2 merupakan dua nilai tambah yang sangat berkontribusi positif terhadap lingkungan hidup.

Terdapat beberapa hal yang bisa dipelajari dari Brazil dalam implementasi bahan bakar bioethanol, yakni: (1) Perlunya diversifikasi sumber ethanol untuk menghindari penurunan kualitas tanah secara radikal (2) Implementasi bahan bakar bioethanol lebih baik dimulai dari pencampuran gasoline + ethanol, bukan dari penggunaan bioethanol 100 Hal tersebut akan menjamin transisi ke arah bioenergy secara lebih mulus Esembari menyiapkan secara lebih matang seandainya era penggunaan bioethanol 100 ipandang sudah tiba (3) Perlunya kerjasama yang erat dengan pihak industri otomotif untuk menyediakan kendaraan yang optimal bagi implementasi bahan bakar gasoline + ethanol (4) Perlu sinergi antar instansi serta antara pemerintah pusat dan daerah dalam rangka penyediaan bahan baku, pemrosesan, serta distribusi bahan bakar bioethanol.

Sumber : Berita IPTEK (12 Juli 2005)
revisi terakhir : 15 Juli 2005




Ads by Acentran

HiLF eCyber 
© 1975-2010 Akunda

.

Kamis, 08 Oktober 2009

Insektisida Nabati Ekstrak Biji Mahoni

Insektisida nabati ekstrak biji mahoni efektif untuk mengendalikan hama perusak daun (spodoptera litura f) dan hama penghisap buah lada (dasynus piperis). Pembuatan insektisida nabati ekstrak biji mahoni dapat dilakukan dengan dua metode, yaitu perebusan dan fermentasi. Ekstrak hasil perebusan tidak bisa disimpan dan harus segera digunakan tanpa melalui pengenceran, sedangkan ekstrak hasil fermentasi dapat disimpan selama 2 (dua) bulan dan harus segera diencerkan kembali saat aplikasi.

Penggunaan insektisida nabati ekstrak biji mahoni pada budidaya tanaman pangan, hortikultura dan perkebunan sangat mengefisienkan biaya produksi sehingga dapat meningkatkan perolehan keuntungan usahatani. Keuntungan lain dari penggunaan insektisida nabati ekstrak biji mahoni, antara lain: dapat mengeliminir pengaruh negatif penggunaan insektisida sintetik, yaitu resistensi dan resurgensi hama, terbunuhnya organisme bukan sasaran termasuk musuh alami, keracunan pada manusia dan ternak, kontaminasi oleh residu bahan beracun pada hasil panen, dan pencemaran lingkungan secara umum.

Khasiat Ekstrak Biji Mahoni

  1. Ekstrak sederhana biji mahoni dengan konsentrasi bahan baku 2,5 persen dan direbus 5 menit dapat menyebabkan mortalitas larva ulat grayak antara 40,00 - 91,11 persen dan menghambat pertumbuhan larva instar II sampai instar IV selama 6-7 hari.
  2. Ekstrak biji mahoni dengan konsentrasi 2,5 persen mengandung deterjen 0,1 persen dan direbus selama 5 menit memiliki aktivitas insektisida terhadap hama penghisap buah lada, yaitu dapat menyebabkan menurunnya populasi nymfa dan imago. Dengan berkurangnya populasi hama penghisap buah tersebut, maka jumlah bulir muda yang gugur juga berkurang sehingga jumlah bulir yang dihasilkan tiap dompol buah lebih banyak. Selain itu, berkurangnya populasi hama penghisap buah menyebabkan menurunnya persentase kerusakan bulir atau berkurangnya jumlah bulir buah yang cacat (bercak cokelat).
  3. Ekstrak biji mahoni hasil fermentasi dengan konsentrasi aplikasi 2 persen dan telah disimpan selama 0 sampai 8 minggu dapat menyebabkan mortalitas ulat grayak sebanyak 81,33 - 85,33 persen, sedangkan ekstrak dengan konsentrasi yang sama dan telah disimpan selama 10 minggu memperlihatkan penurunan aktivitas insektisida, yaitu hanya dapat menyebabkan mortalitas ulat grayak sebanyak 44 persen.

sumber: leaflet INSEKTISIDA RAMAH LINGKUNGAN dari UPPM Politeknik Negeri Lampung

Tulisan Yang Berkaitan:

  1. Pembuatan Ekstrak Biji Mahoni Metode Perebusan Pembuatan ekstrak insektisida dari bahan tumbuhan (nabati) dengan...
  2. Karakteristik Morfologis Mangrove Karakteristik morfologi yang menarik dari species mangrove terlihat pada setiap...